Pajak Negara

Dari Zakat ke Pajak Modern

Pada masa lalu, umat Muslim tidak dibebani pajak negara. Cukup dengan membayar zakat, kewajiban fiskal dianggap selesai. Pajak justru hanya dikenakan pada non-Muslim yang menolak berkontribusi dalam pertahanan negara.

Namun kini, di Indonesia, Muslim maupun non-Muslim sama-sama wajib membayar pajak. Zakat tidak menggugurkan kewajiban fiskal sehingga sebagian Muslim merasa menjalani beban ganda: zakat dibayar, pajak pun tetap wajib.

Logika Negara Konstitusi

Pertanyaan pun muncul: mengapa “privilege” fiskal masa lalu hilang? Jawabannya terletak pada sistem negara modern. Indonesia berdiri sebagai negara konstitusi, bukan negara agama. Pajak diatur lewat undang-undang dan berlaku universal, tanpa memandang agama, etnis, atau status sosial.

Pajak kini menjadi tulang punggung penerimaan negara, menyumbang 80,6% dari total Rp 2.200 triliun pada 2024. Dana ini dialokasikan ke pendidikan Rp 665 triliun, kesehatan Rp 186 triliun, infrastruktur Rp 422 triliun, subsidi energi Rp 113 triliun, bansos Rp 496 triliun, dan pertahanan Rp 135 triliun.

Tantangan Rasio Pajak

Secara makro, rasio pajak Indonesia 2023 hanya 10,4% PDB. Angka ini masih jauh dari target 15% dan rata-rata ASEAN yang berkisar 14–16%. Celah ini menunjukkan perlunya perluasan basis pajak sekaligus menutup kebocoran penerimaan.

Beban pajak saat ini lebih banyak dipikul karyawan dengan sistem potong otomatis. Sebaliknya, sebagian kelompok kaya dan pengusaha kerap memanfaatkan celah pelaporan untuk menghindar. Jika rasio pajak Indonesia bisa naik ke rata-rata ASEAN, potensi tambahan Rp 500–600 triliun per tahun dapat dimanfaatkan untuk pemerataan pendidikan, pembangunan rumah sakit daerah, hingga memperkuat pertahanan.

Zakat dan Pajak: Mencari Titik Temu

Bagi umat Muslim, zakat bukan sekadar kewajiban ibadah, tapi juga instrumen distribusi ekonomi. Potensi zakat nasional diperkirakan Rp 327 triliun per tahun. Sayangnya, realisasi pada 2023 hanya sekitar Rp 17 triliun atau kurang dari 6% potensi.

Beberapa negara menunjukkan integrasi lebih maju. Malaysia memperbolehkan zakat mengurangi kewajiban pajak penghasilan. Pakistan bahkan menjadikan zakat sebagai pungutan resmi negara. Model seperti ini bukan hanya meringankan beban ganda, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem fiskal.

Indonesia pun memiliki peluang besar mengadopsi sinergi serupa. Jika potensi zakat bisa tergarap optimal, integrasi dengan pajak akan memperkuat legitimasi fiskal sekaligus memberi manfaat sosial lebih nyata.

Baca Juga: Gal Gadot Sebut Tekanan Politik Rugikan Snow White

Transparansi sebagai Kunci

Kepercayaan publik menjadi modal utama dalam sistem perpajakan. Jika masyarakat yakin uang pajak dikelola secara jujur untuk layanan publik, kepatuhan akan meningkat dengan sendirinya.

Sayangnya, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2024 hanya 34/100, masih jauh di bawah rata-rata global 43/100. Persepsi rendah terhadap integritas pengelolaan negara membuat resistensi terhadap pajak tetap kuat.

Di negara-negara dengan skor tinggi, transparansi menjadi norma. Selandia Baru membuka detail penggunaan setiap dolar pajak, sementara Finlandia mempublikasikan daftar wajib pajak terbesar tiap tahun untuk menciptakan tekanan sosial positif.

Indonesia mulai bergerak ke arah itu lewat dashboard anggaran daring di beberapa kementerian dan daerah. Namun, tanpa keterbukaan penuh dari kontrak proyek hingga realisasi anggaran, publik tetap bertanya-tanya: ke mana larinya uang pajak saya?

By 4jwu1